Beberapa waktu belakangan ini, warganet Indonesia sedang “panas” karena pembahasan mengenai perubahan bentuk asesmen dari pilihan ganda menjadi open-ended question atau uraian. Soal asesmen uraian dinilai akan lebih mampu melatih dan mengevaluasi kemampuan berpikir kritis dan menganalisis siswa, dibandingkan dengan sekadar mengingat (memorization) jika menggunakan soal pilihan ganda. Akan tetapi, niat "mulia" ini rupanya justru mengundang cercaan dari masyarakat. Pernyataan—yang sebenarnya hanya mengandai-andai—ini memicu kemarahan publik karena dianggap terlalu muluk-muluk untuk diterapkan di Indonesia yang masalah pendidikannya masih sangat mendasar. Lantas, sebenarnya seperti apa sih, peran asesmen dalam pendidikan? Jika memang harus mengubahnya, bagaimana solusi yang tepat untuk semua? Yuk, kita bahas bersama.
Pentingnya Assessment dalam Pendidikan
Video yang ramai beredar menyatakan bahwa assessment berbentuk open-ended question akan mendorong siswa untuk belajar dengan cara yang berbeda, jika dibandingkan dengan ujian yang berbentuk pilihan ganda. Karena yang dinilai adalah critical thinking dan analytical thinking, maka soal uraian akan memengaruhi cara siswa belajar, cara guru mengajar, bahkan cara orang tua memotivasi anak-anak mereka. Benarkah demikian?
“What and how students learn depends to a major extent on how they think they will be assessed.”
— John Biggs (University of New South Wales, 1999)
Artinya, apa yang siswa pelajari dan bagaimana siswa belajar sangat bergantung pada bagaimana atau apa yang mereka pikirkan tentang penilaian seperti apa yang akan mereka peroleh. Kalau kita merujuk pada pernyataan John Biggs ini, apa yang diungkapkan di dalam video tersebut ada benarnya, lho. Bentuk asesmen jelas akan berdampak pada jalannya proses pembelajaran, strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru, bahkan hasil belajar siswa nantinya.
Simpelnya, kalau ujian menguji cara menghafal, tentu siswa akan belajar cara menghafal yang baik dan cepat, sementara guru akan mengajarkan bagaimana agar siswa bisa menghafal isi materi. Kalau ujiannya menguji cara berpikir kritis, analitis, dan kreatif, maka siswa akan belajar bagaimana cara berpikir dengan framework yang tepat, guru akan melatih dan mengajarkan siswa untuk dapat berpikir secara kritis dan analitis di dalam kehidupan sehari-hari, begitu pula dengan orang tua yang juga akan turut serta di dalam perkembangan kemampuan berpikir anak-anaknya. Cara belajar dan mengajar ini tentu juga akan semakin beragam dan kreatif. Kalau benar begitu, kenapa warganet Indonesia meradang, ya?
Realita Pendidikan di Indonesia
Nyatanya, permasalahan pendidikan di Indonesia tak sesederhana yang dibayangkan. Ide tersebut dinilai terlalu naif dan kurang menyentuh grassroot. Banyak praktisi-praktisi pendidikan maupun masyarakat awam yang tidak terima lantaran mereka mengalami sendiri, masalah-masalah di lapangan jauh lebih rumit dan tidak terbayangkan. Jam mengajar yang penuh serta pekerjaan administratif yang menumpuk membuat guru jadi kekurangan waktu untuk mempersiapkan alat dan bahan pembelajaran sebelum mengajar. Hal ini masih ditambah dengan gaji guru yang dinilai kurang layak. Tentu hal ini akan menambah beban pekerjaan Bapak dan Ibu Guru.
“Mengoreksi soal pilihan ganda saja sudah menghabiskan waktu, apalagi uraian?!”, begitu pikirnya.
Belum lagi, ternyata kemampuan beberapa siswa dinilai masih sangat jauh dari ekspektasi.
Jika melihat kenyataan ini, rasanya masih jauh sekali, bukan? Problematika pendidikan yang ada di Indonesia masih sangat mendasar. Tentu masih banyak yang perlu diperbaiki untuk sampai kepada kualitas pendidikan yang ideal. Tetapi, apa benar mengubah bentuk asesmen sama sekali bukan pilihan untuk kondisi pendidikan kita saat ini? Nah, mari kita kupas bersama.
Bagaimana Solusinya?
Mari kita mencoba berpikir secara objektif dan melihat dari sudut pandang lain. Bagaimana jika ternyata memang soal-soal ujian yang digunakan selama ini memang kurang tepat dalam menilai hasil belajar siswa? Hal ini bukan tidak mungkin terjadi. Ide mengenai perubahan bentuk asesmen mungkin dianggap naif dan terkesan tidak “napak”, namun perlu diakui bahwa pernyataan itu ada benarnya. Lalu, gimana solusinya?
Kita perlu mencari jalan tengah, nih. Perlu dipikirkan bagaimana supaya kualitas soal asesmen meningkat dan bisa menilai kemampuan siswa dalam berpikir kritis dan analitis, tetapi juga tidak menambah workload Bapak dan Ibu Guru terlalu banyak. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah membuat soal pilihan ganda yang lebih berkualitas. Kita bisa membuatnya dalam bentuk soal cerita atau studi kasus, kemudian pertanyaannya dibuat merujuk pada pengaplikasian teori tertentu ke dalam kasus tersebut. Bapak dan Ibu Guru mungkin sudah cukup familiar dengan bentuk soal seperti ini.
Meskipun terlihat sederhana dan mudah dikerjakan, soal pilihan ganda sebenarnya tidak bisa diremehkan juga, lho. Menurut Brame (2012), soal pilihan ganda memiliki beberapa sifat unggul, seperti:
- Fleksibilitas. Soal pilihan ganda bersifat lebih fleksibel karena dapat digunakan untuk menilai berbagai tingkat hasil belajar, mulai dari ingatan dasar hingga aplikasi, analisis, dan evaluasi.
- Reliabilitas. Reliabilitas didefinisikan sebagai sejauh mana sebuah tes mengukur hasil pembelajaran secara konsisten. Butir soal pilihan ganda tidak mudah ditebak dibandingkan dengan pertanyaan benar/salah, sehingga menjadi alat penilaian yang lebih dapat diandalkan.
- Validitas. Validitas adalah sejauh mana sebuah tes mengukur hasil belajar yang ingin diukur. Soal pilihan ganda biasanya lebih cepat dijawab oleh siswa daripada tes dengan menjawab dalam bentuk tulisan panjang. Karena itu, tes pilihan ganda dapat lebih baik dalam mencakup berbagai materi pelajaran, yang pada akhirnya dapat meningkatkan keakuratan penilaian.
Membuat Soal Pilihan Ganda yang Efektif
Soal pilihan ganda tetap bisa digunakan untuk menilai kemampuan berpikir siswa, kok. Nah, berikut ini adalah tips yang bisa Bapak dan Ibu Guru terapkan untuk menciptakan pertanyaan pilihan ganda yang berkualitas:
1. Selalu Ingat Tujuan Pembelajaran
Soal pilihan ganda yang efektif akan berkaitan dengan aktivitas kelas dan tujuan pembelajaran, sehingga para siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan mereka, serta dapat melihat keterkaitannya selama proses pembelajaran.
2. Gunakan Taksonomi Bloom
Bapak dan Ibu Guru tentu sudah kenal sekali ya, dengan taksonomi yang satu ini. Kita tinggal sesuaikan saja kemampuan siswa berdasarkan 6 tingkatan yang ada di Taksonomi Bloom. Guru bisa membuat atau memilih pertanyaan yang mengukur tingkat pemahaman yang berbeda. Harap diingat bahwa semakin tinggi tingkat kognisi yang diukur, maka semakin sulit pula soal tersebut dibuat.
3. Pilihan Jawaban Harus Masuk Akal
Pilihan jawaban yang salah digunakan untuk membingungkan siswa yang belum mencapai hasil belajar. Siswa yang sudah mencapai hasil belajar biasanya tidak terpengaruh oleh alternatif ini. Jadi, jawaban yang sama sekali tidak masuk akal seharusnya tidak digunakan. Kesalahan umum yang sering dilakukan oleh siswa adalah pilihan terbaik untuk membuat distraktor.
4. Rancang Pertanyaan yang Kompleks
Ketika membuat pertanyaan pilihan ganda untuk mengukur kemampuan berpikir tinggi, sangat membantu jika kita merancang pertanyaan yang membutuhkan pemikiran yang kompleks, di mana siswa harus menggunakan berbagai pengetahuan untuk menerapkan konsep dengan logika dan terstruktur untuk memecahkan masalah. Ini adalah cara untuk mengukur pemahaman siswa yang lebih mendalam tentang materi pelajaran.
5. Minta Bantuan “Teman”
Nah, Bapak dan Ibu Guru juga bisa minta bantuan “teman”, nih. Bapak dan Ibu Guru bisa menggunakan bantuan AI untuk membuat soal-soal seperti ini. Chat-GPT adalah salah satu solusi supaya prosesnya menjadi lebih cepat. Dengan menggunakan prompt atau pertanyaan yang tepat, Bapak dan Ibu Guru bisa membuat pertanyaan-pertanyaan yang high quality dan beragam dengan jauh lebih mudah.
Kesimpulan
Pada dasarnya, asesmen merupakan salah satu aspek terpenting di dalam pendidikan. Bentuk asesmen akan menentukan seperti apa siswa belajar, cara guru mengajar, bahkan cara orang tua mendidik anak di rumah. Untuk mencari jalan tengah antara penyesuaian workload Bapak dan Ibu Guru dengan proses penilaian yang jauh lebih baik, kita perlu membuat soal pilihan ganda yang menantang kemampuan berpikir tinggi. Untuk itu, kita perlu membuat pertanyaan yang memaksa siswa untuk berpikir lebih dalam. Ini berarti siswa harus menggunakan berbagai pengetahuan yang mereka punya untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang logis. Selain itu, pilihan jawaban harus dirancang sedemikian rupa sehingga siswa harus benar-benar berpikir keras untuk memilih jawaban yang benar. Jadi, soal pilihan ganda tidak lagi sekadar menguji ingatan siswa, deh! Ingat, kualitas asesmen yang digunakan akan berpengaruh pada banyak hal, yang akhirnya akan bermuara pada kualitas pendidikan kita.
Referensi
- Biggs, J. (1999). What the Student Does: teaching for enhanced learning. Higher Education Research & Development, 18(1), 57–75. https://doi.org/10.1080/0729436990180105
- Brame, C. J. (2012, December 7). Writing Good Multiple Choice Test Questions. Vanderbilt University; Vanderbilt University. https://cft.vanderbilt.edu/guides-sub-pages/writing-good-multiple-choice-test-questions/
- Designing Quality Multiple Choice Questions. (2017, June 14). Poorvu Center for Teaching and Learning. https://poorvucenter.yale.edu/MultipleChoiceQuestions
- Understanding the Role of Assessment in Learning. (2023). Queensu.ca. https://www.queensu.ca/teachingandlearning/modules/assessments/04_s1_01_intro_section.html